Selasa, 04 Mei 2010

Taman Ilmu

By. M. Ishak Zainal

ALANGKAH indahnya jika kampus itu diibarakan sebagai sebuah taman ilmu. Sebuah taman yang dihuni manusia-manusia beradab dan berakal sehat. Yang menjadikan akal budi sebagai pijakan, dan produk pikirannya menghias dan menaburi sisi kemanusiaan dan pengembangan ilmu pengetahuan di sekitarnya. Sebuah taman tempat orang untuk bebas mengeruk pengetahuan dan mengais-ngais kebenaran yang terpendam denga melahirkan karya-karya baru.

Betapa sejuknya taman itu, bila salam perdamaian dan kreativitas bertaburan menyambut kedatangan mahasiswa baru. Mereka melindungi mahasiswa baru dari cemaran pikiran dan pola laku yang terformat. Mereka membersihkan sampah-sampah pikiran yang telah diisi dengan persepsi-persip keliru.

Semakin sejuknya taman ilmu itu, bila mereka yang bersilang pendapat menjadikan pengertian dan pemahaman sebagai alat perekat mereka. Alangkah hikmahnya, bila setiap persoalan ditempatkan sesuai duduk persoalannya, dan setiap sengketa pribadi diselesaikan dengan renungan, ketajaman pikiran, silaturrahmi agar tidak terhadap keharmonisan taman itu.
***
Tapi bagaimana menumbuhkan dan melahirkan sosok yang mampu menyelesaikan masalah? Gilbert Highet memiliki jawaban:

Mereka –para pemikir besar- tidak tumbuh seperti pepohonan. Mereka tidak dimuliakan seperti hewan-hewan pilihan. Namun ada dua cara memupuk mereka selagi tumbuh; berilah mereka tantangan dan rangsangan. Letakkan masalah-masalah di hadapan mereka. Hasilkan sesuatu untuk dipikirkan oleh mereka. Diskusikan tiap tahap pemikiran mereka. Usulkan kepada mereka untuk melakukan percobaan. Minta mereka mengungkapkan apa-apa yang tersembunyi. Lalu anjurkan mereka agar mengenal pemikiran-pemikiran yang menonjol. Itulah tawaran kiatnya.
***
Alangkah disegeninya sebuah taman ilmu itu, bila penghuni taman itu tidak saja melahirkan intelektual-intelektual muda, tetapi pemuda-pemuda yang berteriak garang terhadap para penjarah negeri, terhadap para penjarah hak-hak rakyat, seperti prajurit-prajurit muda yang mengibarkan bendera perang terhadap para koruptor.

Alangkah bangganya mereka yang menempatkan anak-anaknya di taman ilmu itu, karena mereka dapat menjadi penyambung lidah dan pelapis dada ketika kesewenang-wenangan merajalela.

Sungguh, mereka begitu bangga, namun kebanggan itu kini hanya milik impian saja. (Identitas, Juli 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar